Memek gadis Cantik telanjang
Biarpun Maria OZAWA / Miyabi ga jadi ke Indonesia ga masalah, so pasti blog Cewek bugil tetep setia nemenin bokepers sekalian dengan foto foto so pasti hot dan panas. Sekilas kita perhatiin Memek gadis Cantik telanjang apalagi anak masi usia sekolah diatas rasanya ngegeremet n pengen banget ngerogoh liang memek tu anak. Tapi inget, itu cuma keinginan dalam dunia maya lho, jangan di samain sama
Bangladeshi famous Singer Nancy exclusive Photos
readmore>> »»
Pengganti Istri 02
Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya. Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan Ningsih yang begitu 'peret' dan legit. Dengan perkasa kudorong kejantananku sampai masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap kali dasar kemaluannya disodok.
"Ahh.. Ndoro..! Aa.. ah..! Aaa.. ahk..! Oooh..! Ndoroo.. Ningsih pengen.. pih.. pipiis..! Aaa.. aahh..!"
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
"Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!"
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian..
"Nggak tahan Ndoroo..! Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa.. aahk..!" Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup.
Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.
"Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis lagi..!"
Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang 'senen-kamis'. Di pangkal paha gadis itu tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.
Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal empuk ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku dalam liang kemaluan gadis itu. Dengan posisi pantat terganjal, klentit Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
"Mau terus apa brenti, Nduk..?" godaku.
"Aii.. iih..! He.. eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..! Aahh.. Aii.. iik..!"
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
"Ooo.. ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagii.. iih..!"
"Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!"
"Aa.. aak..! Ampuu.. unnhh..! Ningsih nggak kuat.. Ndoroo..!"
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua pahanya tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas kedua payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari putingnya yang kecoklatan.
"Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndoroo..! Ningsih mau pipiiss..!"
Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme.
"Mau pipis Nduk..?" tanyaku pura-pura kesal.
"Oohh.. Ndoroo.. terusin dong..! Cuma 'dikit, nggak pa-pa kok..!" rengek gadis itu manja.
"Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?" aku terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
"Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!"
Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih tubuhnya. Rasanya sebentarlagi gadis itu mau pipis untuk ketiga kalinya.
"Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?" kuremas kedua buah dada montok Ningsih.
"Engh.. Enggak. Nggak berani." Wajah gadis itu berkerut menahan pipis.
"Awas kalau berani..!" kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes dari putingnya.
"Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!"
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.
"Ngh..! Ngh..! Ngghh..! Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo.. ampuu.. uun..!"
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.
Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan kuat, meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih. Sementara genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis itu yang hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak.
Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah, kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari selangkangannya. Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terkangkang lebar, sementara liang kemaluannya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup kejantananku yang begitu perkasa menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.
"Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!" Gemas kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
"Oooh.. Ndoroo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuu.. unn..!" Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.
Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya. Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya tersentak terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali kejantananku, nafasnya tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun, majikannya bagai tak kenal lelah terus menggagahi kegadisannya. Bagi gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan pasrah.
Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik paha Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya. Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit kejantananku yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih berusaha kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar, sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf 'O' tanpa ada suara yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.
Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya disodok keras.
"Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!" aku semakin geram merasakan kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kejantananku.
"Ahh..! Ampuu..uun.. ampun.. Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!"
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas kedua payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang.
Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang dan 'peret'-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin hebat menggeluti gadis itu.
"Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro! Aaah.. aamm.. aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro.. Ningsih.. pipii.. iis! Aaamm.. puun..!"
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih yang halus mulus.
Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga meremas-remas kedua buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan nikmat.
"Ahk! Auh..! Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!Aaa.. aakh..!"
Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal, membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku dan mengelus-elus punggungku.
Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas, Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping ranjang.
Keheranan aku bertanya, "Ngapain kamu, Nduk..?"
"Katanya.. biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro.." jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.
readmore>> »»
"Ahh.. Ndoro..! Aa.. ah..! Aaa.. ahk..! Oooh..! Ndoroo.. Ningsih pengen.. pih.. pipiis..! Aaa.. aahh..!"
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
"Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!"
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian..
"Nggak tahan Ndoroo..! Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa.. aahk..!" Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup.
Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.
"Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis lagi..!"
Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang 'senen-kamis'. Di pangkal paha gadis itu tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.
Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal empuk ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku dalam liang kemaluan gadis itu. Dengan posisi pantat terganjal, klentit Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
"Mau terus apa brenti, Nduk..?" godaku.
"Aii.. iih..! He.. eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..! Aahh.. Aii.. iik..!"
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
"Ooo.. ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagii.. iih..!"
"Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!"
"Aa.. aak..! Ampuu.. unnhh..! Ningsih nggak kuat.. Ndoroo..!"
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua pahanya tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas kedua payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari putingnya yang kecoklatan.
"Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndoroo..! Ningsih mau pipiiss..!"
Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme.
"Mau pipis Nduk..?" tanyaku pura-pura kesal.
"Oohh.. Ndoroo.. terusin dong..! Cuma 'dikit, nggak pa-pa kok..!" rengek gadis itu manja.
"Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?" aku terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
"Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!"
Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih tubuhnya. Rasanya sebentarlagi gadis itu mau pipis untuk ketiga kalinya.
"Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?" kuremas kedua buah dada montok Ningsih.
"Engh.. Enggak. Nggak berani." Wajah gadis itu berkerut menahan pipis.
"Awas kalau berani..!" kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes dari putingnya.
"Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!"
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.
"Ngh..! Ngh..! Ngghh..! Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo.. ampuu.. uun..!"
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.
Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan kuat, meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih. Sementara genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis itu yang hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak.
Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah, kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari selangkangannya. Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terkangkang lebar, sementara liang kemaluannya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup kejantananku yang begitu perkasa menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.
"Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!" Gemas kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
"Oooh.. Ndoroo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuu.. unn..!" Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.
Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya. Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya tersentak terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali kejantananku, nafasnya tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun, majikannya bagai tak kenal lelah terus menggagahi kegadisannya. Bagi gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan pasrah.
Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik paha Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya. Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit kejantananku yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih berusaha kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar, sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf 'O' tanpa ada suara yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.
Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya disodok keras.
"Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!" aku semakin geram merasakan kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kejantananku.
"Ahh..! Ampuu..uun.. ampun.. Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!"
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas kedua payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang.
Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang dan 'peret'-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin hebat menggeluti gadis itu.
"Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro! Aaah.. aamm.. aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro.. Ningsih.. pipii.. iis! Aaamm.. puun..!"
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih yang halus mulus.
Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga meremas-remas kedua buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan nikmat.
"Ahk! Auh..! Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!Aaa.. aakh..!"
Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal, membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku dan mengelus-elus punggungku.
Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas, Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping ranjang.
Keheranan aku bertanya, "Ngapain kamu, Nduk..?"
"Katanya.. biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro.." jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.
Pengganti Istri 01
Cerita Dewasa ini adalah dramatisasi dari kisah nyata, dan merupakan satu dari beberapa cerita lepas dengan tokoh utama yang sama. Antara satu dan lainnya tidak harus dibaca berurutan. Ini cerita yang pertama.
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun muda untuk "obat awet muda". Dan memang pekerjaanku menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan "obat stress". Salah seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya, langsung dia kuterima.
Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan mengurus rumah. Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang sibuk di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan kucubit paha gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya yang berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja.
Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi pemandangan yang 'menegangkan' saat Ningsih yang hanya berdaster tipis menungging sedang mengepel lantai, pantatnya yang montok bergoyang kiri-kanan. Tampak garis celana dalamnya membayang di balik dasternya. Tidak tahan membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat Ningsih keras-keras.
"Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali!"
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.
Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat untuk menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku sengaja mengelus selangkangan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena diam saja, perlahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya."Eh.. Ndoro.. jangan..!" cegah Ningsih lirih.
"Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!"
"Jangan, Ndoro.. malu.. jangan sekarang..!"
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur.
Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada salahnya memberi pengalaman pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, "Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?"
"Disini belum Ndoro.." jawab gadis itu.
"Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?"
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, "Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus."
"Lho, kenapa..?"
"Habis mau enaknya saja dia."
"Mau enaknya saja gimana..?" kejarku.
"Eh.. itu, ya.. maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin nggak mau."
Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut dipijat.
"Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?"
Wajah Ningsih memerah, "Ya.. itu.. ngajak kelonan.. tidur telanjang bareng.."
"Kamu mau aja..?"
"Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!"
Aku tertawa, "Lha apa nggak belepotan..?"
"Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan."
Aku semakin terbahak, "Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?"
"Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan."
"Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?" godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, "Eh.. katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?"
Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya yang longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penopang apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku menggoda, "Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diemut..?"
Pipi Ningsih kini merah padam, "Mmm.. memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?"
"Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?"
Ningsih hanya tersenyum malu.
"Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!"
"Ehm.., kalau hamil gimana..?"
"Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab.."
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya.
Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya. Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia berbaring di sisiku.
Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di atas kasur seempuk ini. Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya yang kenyal menggiurkan. Puting susunya yang kemerahan terasa keras mengacung. Kedua payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman tangan. Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung. Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan dinikmati.
"Mmmhh.. Oh! Ahh! Oh.. Ndoroo.. eh.. mm.. burungnya.. mau Ningsih emut dulu nggak..?" tanya gadis itu diantara nafasnya yang terengah-engah.
"Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut."
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.
Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut mungilnya sampai pipinya 'kempot'. Gadis ini ternyata pintar membuat kejantananku cepat gagah.
"Ehm.. srrp.. mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrp..!"
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang masih perawan. Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang. Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi ketelanjangannya.
Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belum cukup umur, namun dengan payudara yang kencang.
Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah dan menutupi payudaranya dengan telapak tangan. Namun segera kutarik kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha gadis itu yang sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan saatnya mempersembahkan keperawanannya.
Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku mempermainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan kedua paha mulus Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam kehangatan tubuh perawan Ningsih. Ketika selaput dara gadis manis itu sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung kejantananku menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini kecil dan sangat dangkal. Kejantananku hanya dapat masuk seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat sampai menekan dasar kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal di kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu tak terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan kemaluannya yang serasa 'megap-megap' dijejali benda sebesar itu. Namun rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh sensasi geli-geli nikmat yang luar biasa.
readmore>> »»
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun muda untuk "obat awet muda". Dan memang pekerjaanku menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan "obat stress". Salah seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya, langsung dia kuterima.
Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan mengurus rumah. Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang sibuk di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan kucubit paha gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya yang berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja.
Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi pemandangan yang 'menegangkan' saat Ningsih yang hanya berdaster tipis menungging sedang mengepel lantai, pantatnya yang montok bergoyang kiri-kanan. Tampak garis celana dalamnya membayang di balik dasternya. Tidak tahan membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat Ningsih keras-keras.
"Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali!"
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.
Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat untuk menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku sengaja mengelus selangkangan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena diam saja, perlahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya."Eh.. Ndoro.. jangan..!" cegah Ningsih lirih.
"Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!"
"Jangan, Ndoro.. malu.. jangan sekarang..!"
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur.
Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada salahnya memberi pengalaman pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, "Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?"
"Disini belum Ndoro.." jawab gadis itu.
"Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?"
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, "Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus."
"Lho, kenapa..?"
"Habis mau enaknya saja dia."
"Mau enaknya saja gimana..?" kejarku.
"Eh.. itu, ya.. maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin nggak mau."
Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut dipijat.
"Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?"
Wajah Ningsih memerah, "Ya.. itu.. ngajak kelonan.. tidur telanjang bareng.."
"Kamu mau aja..?"
"Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!"
Aku tertawa, "Lha apa nggak belepotan..?"
"Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan."
Aku semakin terbahak, "Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?"
"Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan."
"Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?" godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, "Eh.. katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?"
Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya yang longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penopang apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku menggoda, "Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diemut..?"
Pipi Ningsih kini merah padam, "Mmm.. memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?"
"Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?"
Ningsih hanya tersenyum malu.
"Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!"
"Ehm.., kalau hamil gimana..?"
"Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab.."
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya.
Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya. Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia berbaring di sisiku.
Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di atas kasur seempuk ini. Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya yang kenyal menggiurkan. Puting susunya yang kemerahan terasa keras mengacung. Kedua payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman tangan. Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung. Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan dinikmati.
"Mmmhh.. Oh! Ahh! Oh.. Ndoroo.. eh.. mm.. burungnya.. mau Ningsih emut dulu nggak..?" tanya gadis itu diantara nafasnya yang terengah-engah.
"Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut."
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.
Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut mungilnya sampai pipinya 'kempot'. Gadis ini ternyata pintar membuat kejantananku cepat gagah.
"Ehm.. srrp.. mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrp..!"
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang masih perawan. Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang. Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi ketelanjangannya.
Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belum cukup umur, namun dengan payudara yang kencang.
Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah dan menutupi payudaranya dengan telapak tangan. Namun segera kutarik kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha gadis itu yang sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan saatnya mempersembahkan keperawanannya.
Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku mempermainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan kedua paha mulus Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam kehangatan tubuh perawan Ningsih. Ketika selaput dara gadis manis itu sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung kejantananku menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini kecil dan sangat dangkal. Kejantananku hanya dapat masuk seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat sampai menekan dasar kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal di kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu tak terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan kemaluannya yang serasa 'megap-megap' dijejali benda sebesar itu. Namun rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh sensasi geli-geli nikmat yang luar biasa.
Percobaan Pertamaku
Ketika itu, aku masih sangat muda, kira-kira 11 tahun-an, panggil saja aku Banon. Ketika itu aku masih kelas 5 SD namun aku mempunyai gairah sex yang tinggi, entah kenapa, entah dari mana datangnya. Pada hari liburan biasanya aku menginap di rumah tanteku, panggil saja namanya Ibu Deden. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang cukup cantik, langsing, dan putih! Panggil saja Rita.
*****
Ketika itu, di rumah tanteku sedang tidak ada seorangpun, karena aku sudah ditugaskan untuk menjaga rumahnya. Aku mulai menjaga sekitar pukul 9 pagi. Ketika itu aku masih belum mengenal sex. Namun aku telah dikhitan (disunat), sehingga aku biasa memainkan penisku itu karena bentuknya, juga aku sering menggesek-gesekkan pada sesuatu, misalnya tembok (karena aku belum tahu bahwa hal itu dapat merusak dan aku belum tahu masturbasi).
Pada pukul 12 siang. Terdengar suara bel dari luar, ternyata anak Tanteku sudah pulang, si Rita.
"Bukain dong pintunya!!" dia berteriak serentak akupun berlari menuju arah pintu itu dan membukakan kunci pintu tersebut.
"Awas awas! mau kencing!".
Ketika itu Rita masih berusia 10 tahun, masih muda bukan? Rita buru buru masuk karena mungkin kebelet ingin ke toilet. Namun ketika sampai di depan toilet, yah.. air kencingnya sudah tidak tertahan lagi sudah membasahi rok dan celana dalamnya.
"Aduh, makanya ati ati dong! Sabar kek!" kataku. Dia hanya diam.
"Gimana dong, Non?" tanyanya.
Aku bilang, "Tenang aja".
Kudekati dia dan melepaskan roknya dan kusuruh dia melepaskan celana dalamnya karena basah terkena air kencing.
"Bersihin dulu 'memem' nya" katanya.
Diapun membersihkannya dengan air dan mengusap dari arah dubur ke arah vagina, lalu kuhentikan dia.
"Salah! Rita, itu salah!", kataku.
"Memangnya kenapa?" tanyanya.
"Itu bisa membawa kuman dari dubur ke 'memem' jadi nanti memem nya kotor" kataku, maklum waktu itu aku pernah membaca buku milik ibunya yang berisi cara membersihkan diri.
"Jadi gimana?" tanyanya.
"Begini nih. Mau sama Banon atau ama kamu aja?" tanyaku.
"Contohin dulu" jawabnya.
Lalu aku jongkok di belakangnya dan mengambil segayung air oleh tangan kananku dan tangan kiri ku menyentuh kewanitaannya.
"Gini nih" seruku sembari membasuhkan air dan menarik tangan kiriku dari vaginanya menuju duburnya, kulakukan itu 4-5 kali. Lalu ia bangun dan mengeringkannya dengan handuk dan pergi berganti baju.
Mungkin ketika aku cebok kemaluannya, mungkin ia merasa sesuatu, soalnya ketika aku memegang vaginanya ia terdiam dan tidak bergerak sedikitpun. Lalu Rita keluar dari kamar dengan keadaan sudah berganti baju mengenakan rok pendek dan baju sederhana. Lalu ia pun menghampiriku.
"Non, kalau yang barusan nggak apa apa kan? Nggak ada penyakitnya kan?" tanyanya polos.
"Nggak tahu lah"
"Mau diperiksa?" tanyaku.
"Nggak ah" jawabnya.
Ketika itu suasana begitu boring, "Banon, males mainnya ini ini terus, main yang lain yuk!" tanyanya.
"Main apaan?" jawabku.
"Maen dokter dokteran yuk!" katanya.
Akhirnya akupun menyetujuinya. Ketika itu ada sejenis lampu belajar, namun mempunyai efek apalah namanya, kayak bio energy Lantern (bukan iklan, hanya memperjelas). Saya berpura pura menjadi dokternya dan dia menjadi pasiennya. Ketika itu aku memakai alat itu yang sejenis Bio Energy Lantern. Kusuruh dia berbaring, lalu aku sinari dia dari atas hingga bawah.
"Tidak ada masalah kataku", lalu kusuruh dia berbalik (tengkurap), lalu aku mulai menyinarinya lagi (kayak ngescan gitu lah), lalu aku hentikan dibagian pantatnya.
"Wah!ada masalah!" seruku.
"Apaan, Dok?" tanyanya.
"Kayaknya penyakit barusan ini" jawabku.
"Coba deh Dokter periksa dulu, sembuhin Dok!"jawabnya.
Lalu aku menyuruh dia berbaring lagi dan aku memakaikan selimut hingga lehernya.
"Kita harus operasi" kataku dan dia hanya mengangguk tanda setuju.
Lalu aku mulai mempermainkan peranku. Kubuka lebar selangkangannya dan kuangkat sedikit lututnya. Lalu aku mulai memainkan jariku di mulut vaginanya, aku menyentuh bagian seperti biji kecil di bagian atas vaginanya (mungkin ini clitorisnya). Lalu aku mempermainkan biji itu untuk sesaat, aku tekan, usap, pencet, di puter, tampaknya ia kegelian karena hal itu, sehingga selimut yang menutupinya terbuka dan jatuh disisi tempat tidur, sehingga ia dapat melihat aku yang sedang bekerja ini, namun ia tidak melarangnya, bahkan sepertinya ia ingin lagi, karena ia menggerak-gerakkan pinggulnya, sehingga jariku yang asalnya berada di clitorisnya terpeleset dan jatuh ke dalam lubangnya. Namun hal itu berhasil kucegah, sehingga jariku tidak masuk ke dalam lubang vaginanya.
"Kenapa Dok?" tanyanya.
"Ah, enggak, ini sakitnya dari dalam kayaknya" kataku.
"Ya sudah Dok, lanjutin" katanya.
Tanpa ragu ragu aku memulai kembali tugasku, aku memainkan bibir vaginanya yang masih muda, masih segar, masih perawan, dan sudah terbawa nafsu, karena kulihat bibirnya merekah dan terlihat seperti basah-basah. Lalu aku masukin jari telunjukku itu ke dalam lubangnya secara perlahan-lahan, soalnya waktu itu aku masih takut kalau terjadi apa-apa padanya, bisa bisa saya dipecat dari rumah saya. Saat kumasukan jariku, kulihat ia menikmati penetrasi jariku, namun mungkin karena kurang basah, aku tanpa sengaja menyentuh selaput daranya, dengan seketika ia menutup selangkangannya.
"Aduh! sakit! jangan kedaleman!" katanya, aku bertanya dan meminta maaf.
Lalu aku terus melakukan gerakan masuk dan keluar jariku dari vaginanya, dan ia menggelinjang kecil seperti keenakan. Setelah itu dia tergeletak lemas dengan keadaan masih merasakan kenikmatan yang kuberikan ini. Mungkin dia orgasme. Ketika hendak kucabut jariku itu, dengan cepat tangannya menarik kembali tanganku menuju vaginanya, tampaknya ia ketagihan dan masih bertenaga. Lalu kumulai kembali tugasku, dengan awalan yang baik, dan lebih dalam dari pada sebelumnya, tetapi tidak hingga mengenai selaput daranya, karena aku ingin ia tetap perawan.
Setelah kurang lebih 5 menit kulakukan gerakan itu, tampaknya ia telah orgasme lagi. Saat kucabut jariku, terlihat basah dan ada semacam bau yang masih kurang jelas baunya (mungkin ketika itu dia masih kecil).
Terdengar suara klakson mobil, dengan segera aku melap jariku dan membangunkannya dengan cara menusuk vaginanya hingga mengenai selaput daranya, namun tidak hingga robek.
"Aduh!Sakit tahu! Kamu ini jail amat!" hentaknnya.
"Itu ortu kamu sudah pulang! Jangan tidur terus! Ntar disangka sudah ngapa-ngapain lagih nih!" perintahku.
Ia pun menurut dan jalan terhuyung-huyung, mungkin karena lemas karena orgasme. Kami berduapun menyambut kedatangan ortunya Rita. Sesudah itu, Rita tidak pernah bercerita kepada siapapun, bahkan kepada kedua orang tuanya.
Sesudah kejadian itupun, kami masih sering melakukan hal serupa, karena aku tidak berani memasukan penisku ke vaginanya. Jika permainan itu ingin di mulai, biasanya dia yang meminta, atau pun kadang saya yang memintanya, dan dia biasanya hanya menikmati apa yang dirasakannya. Bahkan waktu itu aku puas memainkan vagina cewek, soalnya dia hanya terbaring terdiam dan membiarkan aku bekerja sepuasnya.
Malah pernah kumasukkan benda yang kecil, dan kuambil kembali keluar. Juga pernah di rumah yang masih akan dijual, karena tidak ada siapapun disana, dia mengajakku kesana dan akupun mengikutinya dan memulai acara kami berdua. Seperti biasa aku hanya memainkan jari-jariku di vaginanya, dan mencegah nafsuku membobol vaginanya, karena dia masih perawan. Ketika itu aku masih belum mengetahui tentang menjilat kemaluan cewek, makanya tidak kulakukan hal itu. Dia cukup puas dengan pelayananku selama ini, walaupun aku masih mencari pengalaman.
Pernah aku melakukannya di sofa miliknya. Dia berbaring disudut sofa dan aku sudah mengetahui tentang menjilati vagina, dan setelah kupikir-pikir, sebaiknya melakukan hal itu di kamar mandi agar tidak becek ke mana-mana dan mudah membersihkan diri.
Kuajak dia ke kamar mandi, lalu kusuruh dia untuk duduk di kloset. Lalu aku buka celana dan bajunya sehingga dia berada dalam keadaan telanjang bulat. Ketika melihat hal itu untuk pertama kalinya, penisku berereksi dan menonjol di celana pendekku.
Dia hanya bertanya, "Abis ini ngapain Banon?" tanyanya
"Tenang aja, biar saya kerja!" kataku.
Lalu aku berlutut di depannya dan mukaku berada persis di vaginanya. Lalu aku mulai menjilati vaginanya tanpa merasa jijik sedikitpun. Dia pun tampaknya menikmati hal tersebut, lalu aku mulai menjilati terus hingga bibir vaginanya merekah dan aku dapat melihat klitorisnya membesar, walaupun tidak begitu besar, akupun menjilati dan memainkan klitorisnya itu dengan mulutku.
Mengigit gigit kecil klitorisnya, mengulumnya dan menyodok lubangnya dengan lidahku. Kadang dia menggelinjang kenikmatan dan hingga akhirnya dia lemas beberapa kali, mungkin sekitar 4 kali, mungkin karena pengaruh psikis.
*****
Semua hal di atas bisa ada kemiripan nama, tokoh, dan lain-lainnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya, karena saya tidak bermaksud menyinggung perasaan pembaca dan yang lainnya. Bila pembaca mengganggap ini cerita serius silakan, dan apabila pembaca menanggap bahwa cerita ini hanyalah fiksi saya semata, silahkan, saya menerima saran dan kritikan di email saya.
readmore>> »»
*****
Ketika itu, di rumah tanteku sedang tidak ada seorangpun, karena aku sudah ditugaskan untuk menjaga rumahnya. Aku mulai menjaga sekitar pukul 9 pagi. Ketika itu aku masih belum mengenal sex. Namun aku telah dikhitan (disunat), sehingga aku biasa memainkan penisku itu karena bentuknya, juga aku sering menggesek-gesekkan pada sesuatu, misalnya tembok (karena aku belum tahu bahwa hal itu dapat merusak dan aku belum tahu masturbasi).
Pada pukul 12 siang. Terdengar suara bel dari luar, ternyata anak Tanteku sudah pulang, si Rita.
"Bukain dong pintunya!!" dia berteriak serentak akupun berlari menuju arah pintu itu dan membukakan kunci pintu tersebut.
"Awas awas! mau kencing!".
Ketika itu Rita masih berusia 10 tahun, masih muda bukan? Rita buru buru masuk karena mungkin kebelet ingin ke toilet. Namun ketika sampai di depan toilet, yah.. air kencingnya sudah tidak tertahan lagi sudah membasahi rok dan celana dalamnya.
"Aduh, makanya ati ati dong! Sabar kek!" kataku. Dia hanya diam.
"Gimana dong, Non?" tanyanya.
Aku bilang, "Tenang aja".
Kudekati dia dan melepaskan roknya dan kusuruh dia melepaskan celana dalamnya karena basah terkena air kencing.
"Bersihin dulu 'memem' nya" katanya.
Diapun membersihkannya dengan air dan mengusap dari arah dubur ke arah vagina, lalu kuhentikan dia.
"Salah! Rita, itu salah!", kataku.
"Memangnya kenapa?" tanyanya.
"Itu bisa membawa kuman dari dubur ke 'memem' jadi nanti memem nya kotor" kataku, maklum waktu itu aku pernah membaca buku milik ibunya yang berisi cara membersihkan diri.
"Jadi gimana?" tanyanya.
"Begini nih. Mau sama Banon atau ama kamu aja?" tanyaku.
"Contohin dulu" jawabnya.
Lalu aku jongkok di belakangnya dan mengambil segayung air oleh tangan kananku dan tangan kiri ku menyentuh kewanitaannya.
"Gini nih" seruku sembari membasuhkan air dan menarik tangan kiriku dari vaginanya menuju duburnya, kulakukan itu 4-5 kali. Lalu ia bangun dan mengeringkannya dengan handuk dan pergi berganti baju.
Mungkin ketika aku cebok kemaluannya, mungkin ia merasa sesuatu, soalnya ketika aku memegang vaginanya ia terdiam dan tidak bergerak sedikitpun. Lalu Rita keluar dari kamar dengan keadaan sudah berganti baju mengenakan rok pendek dan baju sederhana. Lalu ia pun menghampiriku.
"Non, kalau yang barusan nggak apa apa kan? Nggak ada penyakitnya kan?" tanyanya polos.
"Nggak tahu lah"
"Mau diperiksa?" tanyaku.
"Nggak ah" jawabnya.
Ketika itu suasana begitu boring, "Banon, males mainnya ini ini terus, main yang lain yuk!" tanyanya.
"Main apaan?" jawabku.
"Maen dokter dokteran yuk!" katanya.
Akhirnya akupun menyetujuinya. Ketika itu ada sejenis lampu belajar, namun mempunyai efek apalah namanya, kayak bio energy Lantern (bukan iklan, hanya memperjelas). Saya berpura pura menjadi dokternya dan dia menjadi pasiennya. Ketika itu aku memakai alat itu yang sejenis Bio Energy Lantern. Kusuruh dia berbaring, lalu aku sinari dia dari atas hingga bawah.
"Tidak ada masalah kataku", lalu kusuruh dia berbalik (tengkurap), lalu aku mulai menyinarinya lagi (kayak ngescan gitu lah), lalu aku hentikan dibagian pantatnya.
"Wah!ada masalah!" seruku.
"Apaan, Dok?" tanyanya.
"Kayaknya penyakit barusan ini" jawabku.
"Coba deh Dokter periksa dulu, sembuhin Dok!"jawabnya.
Lalu aku menyuruh dia berbaring lagi dan aku memakaikan selimut hingga lehernya.
"Kita harus operasi" kataku dan dia hanya mengangguk tanda setuju.
Lalu aku mulai mempermainkan peranku. Kubuka lebar selangkangannya dan kuangkat sedikit lututnya. Lalu aku mulai memainkan jariku di mulut vaginanya, aku menyentuh bagian seperti biji kecil di bagian atas vaginanya (mungkin ini clitorisnya). Lalu aku mempermainkan biji itu untuk sesaat, aku tekan, usap, pencet, di puter, tampaknya ia kegelian karena hal itu, sehingga selimut yang menutupinya terbuka dan jatuh disisi tempat tidur, sehingga ia dapat melihat aku yang sedang bekerja ini, namun ia tidak melarangnya, bahkan sepertinya ia ingin lagi, karena ia menggerak-gerakkan pinggulnya, sehingga jariku yang asalnya berada di clitorisnya terpeleset dan jatuh ke dalam lubangnya. Namun hal itu berhasil kucegah, sehingga jariku tidak masuk ke dalam lubang vaginanya.
"Kenapa Dok?" tanyanya.
"Ah, enggak, ini sakitnya dari dalam kayaknya" kataku.
"Ya sudah Dok, lanjutin" katanya.
Tanpa ragu ragu aku memulai kembali tugasku, aku memainkan bibir vaginanya yang masih muda, masih segar, masih perawan, dan sudah terbawa nafsu, karena kulihat bibirnya merekah dan terlihat seperti basah-basah. Lalu aku masukin jari telunjukku itu ke dalam lubangnya secara perlahan-lahan, soalnya waktu itu aku masih takut kalau terjadi apa-apa padanya, bisa bisa saya dipecat dari rumah saya. Saat kumasukan jariku, kulihat ia menikmati penetrasi jariku, namun mungkin karena kurang basah, aku tanpa sengaja menyentuh selaput daranya, dengan seketika ia menutup selangkangannya.
"Aduh! sakit! jangan kedaleman!" katanya, aku bertanya dan meminta maaf.
Lalu aku terus melakukan gerakan masuk dan keluar jariku dari vaginanya, dan ia menggelinjang kecil seperti keenakan. Setelah itu dia tergeletak lemas dengan keadaan masih merasakan kenikmatan yang kuberikan ini. Mungkin dia orgasme. Ketika hendak kucabut jariku itu, dengan cepat tangannya menarik kembali tanganku menuju vaginanya, tampaknya ia ketagihan dan masih bertenaga. Lalu kumulai kembali tugasku, dengan awalan yang baik, dan lebih dalam dari pada sebelumnya, tetapi tidak hingga mengenai selaput daranya, karena aku ingin ia tetap perawan.
Setelah kurang lebih 5 menit kulakukan gerakan itu, tampaknya ia telah orgasme lagi. Saat kucabut jariku, terlihat basah dan ada semacam bau yang masih kurang jelas baunya (mungkin ketika itu dia masih kecil).
Terdengar suara klakson mobil, dengan segera aku melap jariku dan membangunkannya dengan cara menusuk vaginanya hingga mengenai selaput daranya, namun tidak hingga robek.
"Aduh!Sakit tahu! Kamu ini jail amat!" hentaknnya.
"Itu ortu kamu sudah pulang! Jangan tidur terus! Ntar disangka sudah ngapa-ngapain lagih nih!" perintahku.
Ia pun menurut dan jalan terhuyung-huyung, mungkin karena lemas karena orgasme. Kami berduapun menyambut kedatangan ortunya Rita. Sesudah itu, Rita tidak pernah bercerita kepada siapapun, bahkan kepada kedua orang tuanya.
Sesudah kejadian itupun, kami masih sering melakukan hal serupa, karena aku tidak berani memasukan penisku ke vaginanya. Jika permainan itu ingin di mulai, biasanya dia yang meminta, atau pun kadang saya yang memintanya, dan dia biasanya hanya menikmati apa yang dirasakannya. Bahkan waktu itu aku puas memainkan vagina cewek, soalnya dia hanya terbaring terdiam dan membiarkan aku bekerja sepuasnya.
Malah pernah kumasukkan benda yang kecil, dan kuambil kembali keluar. Juga pernah di rumah yang masih akan dijual, karena tidak ada siapapun disana, dia mengajakku kesana dan akupun mengikutinya dan memulai acara kami berdua. Seperti biasa aku hanya memainkan jari-jariku di vaginanya, dan mencegah nafsuku membobol vaginanya, karena dia masih perawan. Ketika itu aku masih belum mengetahui tentang menjilat kemaluan cewek, makanya tidak kulakukan hal itu. Dia cukup puas dengan pelayananku selama ini, walaupun aku masih mencari pengalaman.
Pernah aku melakukannya di sofa miliknya. Dia berbaring disudut sofa dan aku sudah mengetahui tentang menjilati vagina, dan setelah kupikir-pikir, sebaiknya melakukan hal itu di kamar mandi agar tidak becek ke mana-mana dan mudah membersihkan diri.
Kuajak dia ke kamar mandi, lalu kusuruh dia untuk duduk di kloset. Lalu aku buka celana dan bajunya sehingga dia berada dalam keadaan telanjang bulat. Ketika melihat hal itu untuk pertama kalinya, penisku berereksi dan menonjol di celana pendekku.
Dia hanya bertanya, "Abis ini ngapain Banon?" tanyanya
"Tenang aja, biar saya kerja!" kataku.
Lalu aku berlutut di depannya dan mukaku berada persis di vaginanya. Lalu aku mulai menjilati vaginanya tanpa merasa jijik sedikitpun. Dia pun tampaknya menikmati hal tersebut, lalu aku mulai menjilati terus hingga bibir vaginanya merekah dan aku dapat melihat klitorisnya membesar, walaupun tidak begitu besar, akupun menjilati dan memainkan klitorisnya itu dengan mulutku.
Mengigit gigit kecil klitorisnya, mengulumnya dan menyodok lubangnya dengan lidahku. Kadang dia menggelinjang kenikmatan dan hingga akhirnya dia lemas beberapa kali, mungkin sekitar 4 kali, mungkin karena pengaruh psikis.
*****
Semua hal di atas bisa ada kemiripan nama, tokoh, dan lain-lainnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya, karena saya tidak bermaksud menyinggung perasaan pembaca dan yang lainnya. Bila pembaca mengganggap ini cerita serius silakan, dan apabila pembaca menanggap bahwa cerita ini hanyalah fiksi saya semata, silahkan, saya menerima saran dan kritikan di email saya.
Langganan:
Postingan (Atom)