Kenangan musim dingin, di Western Hemisphere
Si Kecil baru saja terlelap di ranjang kecilnya setelah lelah menangisi ibunya yang absen. Kasihan sekali anak itu, buah hatiku, kembaranku sewaktu aku balita dulu. Baru umur dua tahun tetapi sudah mengerti arti kasih seorang ibu. Dia begitu menginginkan ibunya, bagi dia ibu merupakan segalanya.
Tiga hari ini sungguh-sungguh sulit dilewati. Bukan hanya karena si Kecil atau urusan tetek bengek rumah tangga saja, tapi terutama hatiku yang hancur terluka dan amarahku yang kadang masih meluap. Aku mengakui bahwa aku memang terlalu sibuk dan kurang memerhatikan kebutuhan biologis Kristin (dan emotional khususnya). Berkali-kali aku dapatkan signal itu dari Kristin, baik secara verbal atau dari tingkah laku. Biasanya ia menjadi sensitif kalau libidonya tak terlampiaskan. Selama ini aku tidak menganggap hal ini serius, maka tidak ambil action. Kupikir, seharusnya dia memahami kesibukan karirku sebagai eksekutif muda, sekaligus stresnya.
Kupandangi telapak tangan kananku. Inilah bagian yang terakhir menyentuh Kristin. Hmm, bukan menyentuh, sebetulnya menyakitinya. Aku tampar pipinya malam itu. Masih kuingat betapa merah pipinya yang mulus itu setelah kusakiti. Apa boleh buat.. aku memang murka sekali saat itu. Please forgive me Kristin.. Dengan penuh sesal, kukecup gaun tidur satin "Victoria Secret" warna ungu yang kubeli di hari ulang tahunnya. Tercium aroma tubuhnya di sana. Teringat begitu halus kulitnya yang putih, kontras dengan warna fabric. Terbayang lekukan tubuhnya yang sempurna namun jarang kusentuh. Terkenang pula saat-saat dia membuka bungkusan hadiahku dan sinar bahagia terpancar di matanya ketika mendapati sepotong outfit itu. Dia memakai hadiahku di malam ulang tahunnya.. dan malam itu kami bercinta sepanjang malam. Ah, rasanya sudah lama sekali..
Tiga malam yang lalu, hampir merupakan rutinitas, aku masuk kamar menyusul istriku yang tengah berbaring di ranjang. Aku cium pipinya dan kukatakan "I love you," lalu jatuh tertidur di sampingnya. Tidak biasanya, di lelapnya malam aku terbangun untuk ke WC. Kristin tidak di sisiku. Mungkin di kamar si Kecil atau, hmm.. sedang menyikat lantai dapur? Pernah aku terjaga oleh suara "sek esek esek" Kristin menyikati lantai kamar mandi di tengah malam (sekarang baru aku nangkap kenapa dia berbuat begitu).
So, aku keluar untuk memeriksa. Di kamarnya, kudapati hanya anakku sedang tidur dengan nyamannya. Kucari istriku sampai akhirnya terdengar suara sayup-sayup berasal dari garasi mobil. Dengan siapa Kristin berbicara malam-malam begini? Aku angkat pesawat telepon dengan perasaan sedikit curiga. Ternyata dia tidak menggunakan telepon. Firasat buruk mulai datang, sedang apa pula dia di garasi ribut-ribut pada waktu begini? Akhirnya aku menguping. Tidak jelas karena bunyi heating system yang menyala, tapi kudengar suara Kristin menjerit-jerit dalam kenikmatan sambil meneriakkan nama seorang lelaki. Seluruh tubuhku menjadi lemas sekali. Aku tak berani menebak apa yang sedang dia lakukan di sana, apalagi untuk memergoki dia bermain cinta dengan lelaki lain. No matter what.. lebih baik tidak menangkap basah orang bersenggama.. no matter who it is-- pernah kupergoki adikku bercinta dan yes.. you guessed it! bayangan itu tak pernah hilang sampai sekarang.
Jantungku berdebar hebat sekali. Bagaimana mungkin istriku berselingkuh? Tak mungkin rasanya Kristin berbuat serong. Dia istri yang baik. Suara yang samar-samar itu telah reda. Lalu, pintu garasi terbuka dan dari sana keluar Kristin menggenggam handphone. Kutangkap keterkejutannya, dan wajahnya pucat pasi mendapati aku duduk di situ. Langsung aku confront dengan suara gemetar, "Apa yang barusan kau lakukan?" Dia tidak berusaha untuk mengelak. Kelihatan pasrah menerima tuduhanku. Diakuinya bahwa selama ini memang ada pria lain dan bahwa dia baru saja masturbasi bersama pria itu via telepon untuk memuaskan diri. Tak elak lagi, tanganku melayang di pipinya. Paginya, sebelum aku atau si Kecil bangun, Kristin telah pergi.
Kubiarkan air mataku menetes satu persatu --tanpa menodai gaun malam Kristin di genggamanku-- menyesali kegagalanku memberikan kebahagiaan kepada satu-satunya wanita yang kucintai. Kemarin aku masih belum tenang, masih marah-marah, tapi sekarang aku sudah mampu berpikir dengan jernih. Seharusnya aku ketahui lebih dini kalau Kristin kesepian. Andai saja tak kubiarkan dia kesepian, andai saja dia bahagia bersamaku, takkan mungkin dia menjalin hubungan dengan pemuda Indonesia itu. Aku yang salah.
Kemana gerangan dia pergi? Dia tak berhasil aku kontak. Ke rumah laki-laki itukah? Kristin memang sering bilang lebih baik hidup miskin asal bahagia. Apakah dia menemukan kebahagiaan bersama laki-laki itu? Dari latar belakangku (aku dilahirkan di sebuah negara Asia yang cukup maju), mencari nafkah adalah tugas nomor satu seorang laki-laki; tetapi lihat sekarang, tanpa Kristin tiga hari ini aku bahkan tidak dapat ke kantor (Kristin sendiri ternyata bolos ngantor). Lelaki itu tentunya memanggil istriku "Titin", panggilan akrabnya. Aku selalu menolak menggunakan nickname itu, alasanku "Kampungan, itu kan nama orang Indonesia, aku bukan orang Indonesia."
Cintakah pria itu pada istriku? Tentu saja! Apa susahnya mencintai seseorang seperti Kristin? Ia wanita cantik yang lembut dan cerdas. Aku sendiri mencintainya setengah mati karena.. basically, hanya bersamanya hidup ini menjadi menarik. Seorang wanita yang penuh surprises. Dia satu-satunya wanita kukenal yang join racing club, untung mobilnya termasuk yang paling safe, walaupun belum se-safe Hummer. Hobby-nya adalah berputar-putar 360 derajat di dalam mobil di lapangan parkir yang licin penuh salju dan es. Aku gemas dengan sifatnya yang kadang-kadang.. somewhat clueless --sewaktu George W. Bush menjadi candidate president, Kristin bertanya dengan lugunya, "Bukankah dia pernah terseleksi di th 1988?". Kristin suka meng-disregard current news di TV/surat kabar yang tidak menyangkut personal life-nya, tapi aku tahu dia berdoa setiap malam meminta world peace, terutama di negaranya sendiri yang senantiasa kacau. Well, sekarang tidak masalah apakah pria itu mencintai Kristin atau tidak, yang lebih penting adalah: masihkah Kristin mencintaiku?
Jika dia pulang, akan kulakukan segalapun untuknya. Maksudku bukan soal sepele seperti merelakannya memajang 12 buah botol sabun cuci tangan berwarna warni dari flavor melon ke pearberry (katanya sih supaya kalau mau cuci tangan tinggal pilih aroma yang disukai tergantung mood, tapi menurutku cuma tambah repot saja). Sudah waktunya aku memberi tanpa menuntut dalam hal-hal yang lebih bermakna. Bilamana ada acara orang Indonesia kumpul-kumpul, aku akan ikut serta dengan raut wajah yang ceria. Karena aku tahu dengan cara ini, aku akan membuatnya senang. Kalau selama ini aku memilih untuk tidak berada di tengah-tengah mereka --dan ini membuat Kristin sedih-- itu semata-mata karena aku tidak mengerti bahasa mereka. Teman-temannya ini doyan ngoceh dalam bahasa Indonesia. Heran! Entah mengapa orang Indonesia kalau bertemu orang Indonesia lagi selalu berbahasa Indonesia, lain dengan bangsaku sendiri (or others) yang lebih suka berbahasa Inggris. Di kupingku, mereka kedengarannya seperti emak-emak yang sedang arisan, ngomongnya berisik dan cepat sekali, aku jelas tidak fit in.
Terbayang lagi betapa intensnya kegiatan Kristin di garasi malam itu. Hatiku benar-benar tersayat. Tak pernah lagi dia begitu denganku. Aku cemburu sekali. Berhasilkah lelaki Indonesia ini mengerti tubuh istriku dan memberinya kepuasan yang tak dapat kuberikan? Kristin memang sulit sekali mendapatkan puncak dalam berhubungan sex. Di awal hubungan kami, aku selalu berusaha memberikannya, namun karena gagal terus aku tidak lagi memikirkan hal itu. Hanya aku yang mengalami orgasme. Sejujurnya, saat kami bercinta, rasanya bagiku hanya kewajiban saja, bukan lagi permainan indah sepasang manusia yang saling memiliki. Hhh.. apalagi belakangan ini kami malah jarang ML. Terkadang seminggu sekali, terkadang dua minggu baru sekali. Oh ya, Kristin bahkan keep track; dia memiliki kalkulasi lengkap mengenai frekuensi per minggu kami berhubungan sex, dari tahun ke tahun (she did the math! perempuan memang ada-ada saja). Ya, akhirnya Kristin enggan menelan pil KB lagi, katanya setiap butir yang ia telan tiap hari hanya mengingatkan bahwa aku telah menjadi seorang yang "dingin".
Oh, Kristin.. Rumah ini serasa bukan rumah lagi tanpa kehadiranmu. Aku menempelkan gaun miliknya di wajahku dan menghirup nafas dalam-dalam. Aku merindukanmu. Si Kecil begitu membutuhkan dirimu. Sepanjang hari dia memanggilmu "Mommy! Mommy!" Dia kurang suka Daddy-nya yang kurang sabar dan tidak becus mengurus anak. Pulanglah Sayang. Akan kubuktikan bahwa aku mampu memberikan kehangatan seorang suami. Aku berjanji tak akan membuatmu murung lagi. Aku hampiri si Kecil yang tidur dengan damai, kubisikkan padanya, "Mommy akan segera pulang, Daddy berjanji," tanganku menepuk-nepuk lembut lengannya yang mungil. Bersamaan dengan itu, aku dial HP Kristin.
"Hai.." suara datar dari orang seberang. Yes! Aku bersorak. Ternyata Kristin sudah mau menerima teleponku.
"Kris?"
"Ya. Bagaimana kabar si Kecil?" tanyanya.
"Oh, thank God! Kau sudah mau menerima teleponku. Dia baru saja bobo. Dia sangat sedih kau tidak ada, mencarimu terus."
"Aku tahu," katanya lirih.
"Apa kabarmu?"
"Biasa saja."
"Maafkan aku." Diam sejenak. Sepertinya Kristin bersedia mendengarku.
"Maafkanlah segala dosa-dosaku. Aku yang salah selama ini. Aku akan berubah jika kau bersedia memberiku second chance. Dan kau harus mengijinkan kesempatan itu."
"Kau kan tahu, ini bukan pertama kalinya kita argue soal ini." Terdengar suaranya yang bindeng.
"Tapi.. baru kali ini aku benar-benar sadar. Baru kali ini aku merasa terancam kehilangan kamu."
Terdengar isakannya. "Sshh.. jangan menangis, Sayangku. Shh..! Di mana kau sekarang?" Aku sendiri sebenarnya meneteskan air mata.
"Aku.. ihik.. di apartment Crystal."
"Aku jemput sekarang ya," pintaku lembut.
"Jangan! Jangan bangunkan si Kecil." Kalau aku jemput Kristin, Si Kecil memang tidak bisa ditinggal sendirian.
"Kalo gitu, kau nyetir sendiri ya! Si Kecil dan aku menunggumu." Diam lagi.
"Tin?" Aku minta konfirmasi.
"Titin? Kok diam?" Sebagai pemula, aku ingin mulai merubah cara memanggilnya.
"Gak napa-napa."
"Pulang ya sekarang. Aku sangat sangat mencintaimu. Kami berdua sangat mencintaimu."
"Oke.. aku pulang sebentar lagi," bisiknya pelan.
"Hati-hati bawa mobil. Jalanan licin sekali."
Semangatku kembali. Aku bersiap-siap menyambut kepulangan istriku. Rasanya lama sekali waktu berlalu, sebentar-sebentar aku menengok keluar jendela. Hmm.. pemandangan di luar menjadi begitu indah, salju putih yang turun menambah kesejukan di hatiku. Aku telah menantinya di pintu yang menghubungkan garasi dan rumah kami begitu Kristin turun dari mobil. Kuraih tubuhnya ke dalam dekapanku, kuusap-usap punggungnya, mencoba menyalurkan kehangatan tubuhku. In my arms is where you belong, not out in the cold, or at Crystal's apartment where she owns a big mean yellow dog. Setelah lepas, baru kulihat wajahnya yang sayu, matanya cukup membengkak akibat kebanyakan menangis.
Pertama kuajaknya ke kamar si Kecil di mana kubiarkan dia melepas rindu dengan buah hati kami. Lalu kubimbing dia ke kamar kami. Akh, aku begitu ingin membawanya ke kamar, ingin menikmati keberduaan bersamanya lagi di dalam "surga" kami dan mencumbuinya.
"Pipimu.. masih sakit?" tanganku meraba pipi istriku dengan perasaan berdosa. Seperti yang kusangka, air matanya meleleh lagi. Aku merengkuh tubuhnya dengan rasa sayang "Tin, udah dong nangisnya, ntar kering matamu." Aku menciumi pipinya perlahan sekali. Sedikit asin karena air matanya. Matanya terpejam dan tak dibukanya lagi, seolah-olah pasrah menantikan sesuatu yang akan kuperbuat atas dirinya. Tanganku melingkar di pinggangnya yang ramping, sementara bibirku merambat naik ke matanya, mencium kelopak matanya satu persatu, mengeringkan air matanya lewat sapuan bibirku, lalu pindah ke daun telinganya. Aku berbisik, "Kalau kau gak keberatan, aku ingin sekali memanggilmu Titin. Boleh?" Terdengar bunyi "emmhh.." yang lemah. Aku jilati bagian belakang daun telinganya, sambil mengontrol kelembaban lidahku. Kepalanya miring ke kiri membiarkan diriku bebas menikmati lehernya yang jenjang. Kudengar rintihan lirih mulai keluar dari bibirnya.
Sweater yang menutupi bahunya kusingkapkan sedikit. Kuciumi daerah situ. Pekikan kecil terlepas dari mulut Kristin ketika aku gigit bahunya. "Sakit?" aku harus bertanya.. just in case, padahal pekikannya terdengar seperti lenguhan nikmat, tidak seperti kesakitan. "Ngghh.. terus, Lie," pintanya. Kedua tanganku merayap ke dada Kristin. Kuraba-raba permukaan dadanya dari luar bajunya, lembut sekali. Sweater yang dikenakannya kulepas, lalu terpampang kedua bukit nan indah berikut putingnya, hanya terbalut bra hitam tipis yang transparan. Tidak besar, hanya terasa pas di telapak tanganku. Tanganku meraih bukit itu lalu membawa keduanya bersama. Lalu aku berlutut menciumi seluruh payudaranya, membasahi kain penopangnya. Transparansi itu semakin menantang kelelakianku. Ditambah lagi erangan-erangan Kristin yang kuat dan panjang sangat menggairahkan nafsuku. Dia melepas kaitan branya sendiri dan memintaku melahap bulat-bulat buah dadanya lewat dorongan tangannya di kepalaku.
Aku sudah familier dengan wajah istriku yang kurang rela di kala aku terlalu dini menyerbu kewanitaannya. Kali ini aku tidak ingin terburu-buru. Aku akan merangsang kewanitaannya hingga mengeluarkan cairan alami yang cukup, takkan kupergunakan air liurku. Tahukah kau Tin, aku bersumpah aku tidak akan ejakulasi malam ini kalau kau tidak. Aku sadar betapa tidak adilnya bagimu setiap kali aku meraih puncak kenikmatan lalu sekejap kemudian jatuh tertidur di sampingmu, sementara kau.. entahlah, mungkin kau bertanya-tanya mengapa pernah kawin denganku? Malam ini aku akan bergerak menuruti kehendakmu.
Kurebahkan tubuh istriku di atas ranjang pengantin kami. Kulanjutkan dengan melepas kancing celana panjang yang membungkus kaki panjangnya, gigiku ikut membantu menurunkan zip-nya, dan bibirku menjelajahi setiap inci bagian-bagian yang barusan terbuka. Hmm.. celana dalam yang serasi dengan bra, hitam tipis yang juga tembus pandang, dan akhh.. kiranya dia sudah basah, ada cairan keluar dari pintu gerbang vaginanya yang membasahi celana dalamnya. Oh, betapa inginnya aku menyentuh daerah segitiga terlarang itu, tapi kukonsentrasikan pikiranku kepahanya yang kencang mulus. Tubuh Kristin menggelinjang-gelinjang bagai cacing kepanasan ketika kuberikan gigitan-gigitan kecil di bagian paha dalamnya, nafsunya sudah naik tinggi sekali. Napasnya berikut erangan-erangan nikmat kadang-kadang tertahan, kadang-kadang keluar tak terkendali. Wajahnya terlihat cantik sekali. Tangannya diletakkan di atas kepalanya memamerkan ketiak yang mulus ter-wax.
Aku merayap naik dan mengecup bagian itu. Matanya menatapku dengan memelas. "Charlie.." panggilnya memohon. "Yes Dear?" "pleasee.." Kuambil sedikit rambut panjangnya yang tergerai bebas di ranjang dan kularikan ujungnya disekitar puting susunya, sehingga puting itu tegak dan keras. Aku hanya menikmati wajah dan tubuh di depanku bereaksi atas sentuhan itu. "ughh.. Lie.., aku gak tahan lagi.." "Sentuhlah tubuhmu sendiri, aku ingin lihat." Kristin meremas-remas buah dadanya lebih kasar dari yang biasa kulakukan, tubuhnya bergelinjang tak bisa diam. Oh, aku suka sekali melihatnya. Aku berdiri melepas baju dan celanaku, menampakkan penisku yang sudah berdiri tegang dengan gagahnya. Kristin melenguh begitu melihat barangku. Tangannya berusaha menggapai, tapi aku berkelit dan malah menggenggam dan mengelus batangku sendiri naik turun diikuti oleh matanya yang liar. Dia makin tidak sabar, "Charlie, kesinilah, biar aku yang lakukan untukmu."
Aku mengocok dengan gerakan yang lebih cepat. Sengaja kulakukan supaya dia teriak-teriak gila. Ukuranku memang tidak memalukan. Kristin terutama mencintai urat-urat ungu yang bertonjolan di penisku di saat ereksi, katanya ia dapat merasakan sensasi gesekannya di dalam dirinya. Dan dia tidak kuat hanya menyaksikan. "Oooh God! Charliie.. Dammit, give it to me!" Dua detik kemudian penisku sudah berada di dalam mulutnya, dikulumnya seraya tangannya mengocok perlahan. Pantatku ikut goyang mundur maju. Rasanya luar biasa. "Telanjangi aku.. ppleease!" pinta Kristin di sela-sela kegiatannya, kedua pahanya dibuka lebar-lebar. Aku terlalu menikmati lidahnya bermain di seputar kelelakianku. Kristin menjerit histeris memerintahku "Charlie.. sekarang!" Akupun melucuti celana dalamnya dan melahap kewanitaannya. Kujilati seluruh cairan kenikmatan yang mengalir keluar sambil kutusuk-tusuk liangnya dengan jari tengahku. Satu jari menjadi dua jari. Lalu dia minta lebih "Lie.. enter me.."
Kutekan penisku ke dalam vaginanya sedikit demi sedikit. Kulakukan perlahan-lahan agar dia merasakan setiap inci dari tubuhku. Aku bergerak semakin dalam, sampai menyentuh suatu titik jauh di dalam tubuhnya yang hanya bisa dicapai oleh kejantananku. Kudengar mulutnya meracau memanggil-manggil antara "God" dan namaku; mungkin berterima kasih kepada Tuhan atas kenikmatan yang tengah dirasakannya dan memohon agar aku memuaskan dirinya. Aku bergoyang mundur maju, turun naik, sesekali memberikannya kejutan lewat hentakan-hentakan kecil. Kewanitaannya serasa memeluk erat kelelakianku dan tak akan melepaskannya selagi kenikmatan intens ini berlanjut, dan dalam pikiranku hanya ada satu tujuan: wanita yang kucintai akan orgasme, tak peduli apa yang harus kuperbuat.
"Okhh God! I think I am coming!" tiba-tiba kudengar teriakannya. ".. faster.. harder," lanjutnya. Kuimbangi momen itu, sambil kugosok-gosok clitnya dengan jari-jariku. Akhirnya jeritan mirip tangisan yang paling nyaring malam itu terlepas bebas dari sela-sela bibirnya. Dengan pelukan erat aku mencoba menenangkan tubuhnya yang baru saja terguncang hebat. Tubuhku sangat lelah tetapi hatiku bersorak sorai. Aku akhiri permainan cinta kami dengan orgasmeku sendiri.
Kami berdua jatuh terkulai lemas. Kristin memejamkan matanya; aku menatap langit-langit. Aku masih menikmati sisa-sisa gejolak tadi ketika tiba-tiba Kristin berujar, "Lie, boleh aku jujur terhadapmu?"
Aku menolehnya mencoba menangkap sesuatu yang ganjil di matanya. Tapi bola matanya polos. Tidak ada apa-apa di sana. "Katakanlah."
"Maafkan, aku tidak bermaksud menipumu, tapi.. aku tidak.." tidak diteruskan kalimatnya.
"Oh.." Aku baru mengerti. She just faked it. Aku memang kecewa sekali. "Mengapa harus pura-pura, Tin?"
"Entahlah. Sepertinya aku tidak dapat merasakan momen itu datang.. dan aku tahu kau berusaha keras."
Kupeluk tubuhnya erat di dadaku dengan penuh kasih. Tangannya membalas merangkul perutku.
"Charlie, aku mencintaimu dan I want you, and only you, to make love to me." Bisiknya dengan suara yang lembut dan manis. Ada perasaan terluka ketika mendengar pernyataan itu.
"Aku ingin kau yang menghadiahkan puncak kenikmatan itu suatu hari. Tidak ada alasan untuk terburuburu, we have our whole lives together."
Aku terharu. Aku hanya mampu membisikkan sebuah kata terima kasih di telinganya dan mempererat dekapanku. Ternyata aku belum terlambat. Lelaki Indonesia itu pun tidak berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar