Aku sangat bersyukur, lima hari kemudian aku mendapat haid. Saat mendapat haid itu, Anto merengek-rengek meminta persetubuhan denganku. Aku jelaskan padanya, kalau aku sedang haid dan menunjukkan darah yang memerah pada pembalutku. Aku menjelaskan padanya apa itu haid dan kotor serta bau. Seperti cerita cerita teman-teman di pasar, dengan sembunyi-sembunyi, aku membeli kondom. Sekali beli berkisar satu lusin. Saat ngangon kambing aku menjelaskan, kalau mulai sekrang, Anto harus pakai kondom. Kujelaskan kenapa sampai dia mau mengerti.
Temanku jualan sayutr mayur menjelaskan padaku, kalau dia lagi haid, dan suaminya memita, suaminya selalu mendapat jatah, melalui dubur. Dia jelaskan pertama sedikit memang sakit. Tapi setelah dua tiga kali, justrusebaliknya terasanikmat. Jatah itu hanyadiberikan pada saat dia haid. Jika tidak, suaminya hanya diberikan jatah dua kali semingu, maksimal tiga kali semingu, untuk kesehatan. Akumengikuti penjelasannya sembarisenyum-senyum. Diamau bercerita padaku, karena aku janda dan tidak akan mungkin melakukan persetubuhan.
"Bagaimana, apakah kamu sudah mau lagi?"
"Tapi Simbokne haid," tanyanya. Aku tersenyum dan menjelaskan. Kami ke kamar setelah dia selesai mengerjakan PR-nya. Kuleus-elus kemaluannya sampai keras dan kupasangi kondom. Dia tersenyuj melihat kondom menyarungi kemaluannya. Yah.. seumur hidup baru sekali melihat kondom dan memakainya.
Kulepas sarungku. Aku naik ke ranjang dan menungging. Anto tetapberdiri di lantai. Kuarahkan kemaluannya ke duburku. Kondom yang licin sudah siap dimulut duburku. Kuminta Anto menekannya perlahan-lahan dan kuat. Aku menuntunnya sesuai arahan temanku di pasar. Anto pun menekan kemaluannya memasuki duburku. Perlahan dan perlahan. Terasa sedikit sakit.
"Tahan sedikit. Jangan tekan dulu," kataku menarik nafas. Kuemut-emutkan lubang duburku menyesuaikan lubang dengan kemaluannya yang masuk. Kuminta Anto menekan kembali kemaluannya. Dia mulai menekan sampai semuanya berada dalam duburku. Anto memelukku.
"Tarik pelan pelan dan masukkan kembali pelan-pelan. Jangan cepat-cepat," kataku. Anto melakukannya. Tapi maki lama makin cepat dan aku mulai merakan kenikmatan. Sampai akhirnya, Anto mencapai kenikmatannya. Kemaluannya pun mengecil dan terlepas dengan sendirinya.
Malamnya kami tidur. Dalam berdampingan, aku memintanya untuk megisap-isap tetekku.
"Nyusu tole...." pintaku. Kusodorkan pentil tetekku. Anto mulai mengisap-isap tetekku dan aku merasakan kenikmatan. Daerah dari kemaluanku dala haid pun berbuncah keluar. Aku pun medapatkan ilmu itu dari temanku di pasar. Jika haid, kita dicumbu, maka darah cepat banyak keluar dan cepat kering. Benar, empat hari, aku benar-benar sudah bersih.
"Kamu apa sudah tidak mau gituan lagi sama ibumu ini nak?" tanyaku lembut. Anto tersenyum.
"Kalau boleh, sekarang juga aku mau, bu," katanya gembira.
"Ya... sebaiknya sekrang, biar nantui malam kamu boleh mengerjakan PR mu dengan tenang. Tidak terbutu-buru," kataku. Dia kelihatan gembira sekali. Cepat dia berlari ke rumah dan menyiapkan kondom. Aku menyusulnya dengan jalan santai. Walau orang tidak ada di sawah dan ladangnya, aku harus tetap hati-hati. Karena ini adalah aib diriku. Tapi aku membutuhkannya.
Cepat kulepas semua pakaianku dan kuminta Anto mengisapi tetekku sampai aku terangsang betul. Setelah aku terangsang, aku tidur di kasur dan mengangkangkan kedua kakiku. ANto akan datang menindihku dengan kemaluan sudah berbalut kondom.
Aku sisergapnya. Nampaknya Anto sudah mulai mampu menguasai keadaan. Dia tidak terburu-buru lagi. Kami sama-sama melampiaskan kenikmatan kami. Entah darimana dia tau, diamulai bukan hanya mengisapi teteku saja juga sudah menicumi bibirku dan mempermainkan lidahnya dengan lidahku.
Secara berangsur, kami keluar dari gubuk dan kembali mencabuti sayuran. Anto selalu dudkk di sampingku. Dia tersenyum puas. Jika tak ada orang, dia selalu memanjakan dirinya padaku dan aku memeluknya dan membelai kepalanya. Jika aku membelai kepalanya, jika pun orang melihatnya, mereka pastiakan mengatakan, betapa aku menyayangi anak tunggalku. Kakak-kakakku serta aayah dan ibuku selalu mengatakan demikian. Aku terlalu memanjakan anak tunggalku itu. Tetangga juga berkata demikian.
Kami duduk mengikati sayuran. Dan Anto pun berbisik padaku.
"Bu, tiba-tiba kok aku masih mau, ya..."
"Jangan. Tak boleh keseringan. Kamu bisa sakit."
"Bukankah, dalam minggu ini, kita belum melakukannya? Ayolah bu. Aku masih mau..."
"Haruskah kita kembali ke rumah? Nanti malah orang curiga," kataku.
"Biar aku saja yang ke rumah mengambil kondom. Peganglah bu, sudah keras.." katanya memintaku memegang kemaluannya. Otakku berpikir keras, bagaimana caranya. Aku menyuruhka cepat ke rumah mengambil kondom sekaligusmemasangnyadari rumah. Anto berlari ke rumah. Tak lama dia datang. Aku beejalan ke puncak bukit tak jauh dari tempat kami mengikat sayuran. Di sana ada pepohonan. Anto datang berlari, seperti tak sabar. Kusuruh dia rebah dan membuka celanya. Kemalua terpasang kondom benar sudah mengeras dan berdiri menantangku. Pepohonan singkong yang rapat sudah setingi pinggang. Kudatangi Anto dan kukangkangi dia. Aku berjongkok sembari mengangkat sarugku. Kemaluannya kutuntun ke arah kemaluanku dan memasukkannya. Aku tetap memeggang sayuran, seakan mau mengikatnya. Aku melihat orang-orang mundar-mandir di bawah sana dengan pekerjaannyamasing-masing, semetara aku mulai memompa Anto dari atas. Tentu saja aku tak mau kehilangan kenikmatan.
Perlahan aku menggoyangnya dan terus menggoyang dengan tenang. Sesekali orang dari bawah sana menegurku. Mengatakan sudah sore, jangn asyik terus bekerja. Istirahat dan sebagainya. Aku membalas teguran mereka dengan senyum sembari melambaikan sayuran yang kupgang. Mereka terusberlalu satupersatu. Aku sudah tak tahan. Kupeluk Anto dari atas dan kugoyang dengan keras dan cepat. Aku mencari kenikmatanku sampai Anto merasa tubuhnya tertidih keras dan memlukku dari bawah.
"Bagaimana, enak?" tanyaku.
"Enaksekali bu. Terusin..." pintanya. Aku meneruskan. Menggoyangnya, menciumi bibirnya dan mengisap-isap lidahnya. Tapi Anto tak mampu bertahan. Dengancepat dibalikkannya tubuhku dan dia memompaku dari atas. Kami berpelukan dan terus salig menggoyang. Kujepit pinggangnya dari bawah dan Kami melepas kenikmatan kami bersama-sama.
Beberapa hari kemudioan. kami kembali lagi mencabuti sayuran. Saat itu juga Anto meminta. Aku mengingat kalau kondom sudah habis. Tak mungkin aku ke pasar lagi membelinya sementara hari sudah sore. Kembali kuajar Anto ke puncak bukit tak jauh dari rumah kami. Setelah membuka celananya aku mengisap kemaluannya dan mempermainkan lidahku, Nampak Anto menyenanginya dan dia puas sekali dan melapaskan spermanya dalam mulutku.
"Mau gantian ya nak?" kataku. Anto berpikir. Langsung kusuruh dia menelentang di tanah beralaskan rerumputan yang empuk. Kukangkangi kepalanya dan aku jongkok. Kuminta dia menngisap-isap kelamuanku. Aku sendiri mulanya tak yakin, apakah dengan cara demikian bisa memuaskanku. Ajaran teanku di pasar, selalu kuikuti. Lama-lama apa keinginanku kuminta dipenuhi oleh Anto. JIlatan dan isapan pada itilku dilaksanakannya. Sampai akhirnya aku merapatkan kemaluanku di mulutnya, sampai dia susah bernafas. Dan aku pun mendapatkan puncak kenikmatanku.
Anto adalah anakku, pelampiasan kenikmatanku. Aku adalah ibunya, juga puincak kenikmatannya. Walau kini Anto sudah menikah dan bekerja di sebuah pabrik sebagai mandor kepala, kami tetapmelakukannya. Tentunya dengan segala cara dan sangat rahasia. Anto selalu mengatakan, kalau dia lebih nikmat bersamaku daripada bersama isterinya.
Entahlah. Tapi kami sudah melakukannya selama sembilan tahun dan kini masih terus melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar