Ibu Tirku Tercinta (2)


Lincah sekali anak kami dalam usia 3 tahun delapan bulan. Dia suka usil menariku kail yang kupasang di tepi rawa. Aku selalu mengawasinya, agar dia tidak terjatuh ke dalam rawa. Nenek dan kakekku selalu datang bermain dengannya. Maklumlah, mereka selalu terkenang pada ayahku. Mereka sangat senang melihat kelincahan cucu mereka itu. Sebenarnya cicit mereka, bukan cucu mereka.

Bila mereka datang meminta agar cucu mereka tidur di rumah mereka, biasanya bayi itu senag sekali ikut bersama mereka. Kami pun bisa tidur bedua di rumah dengan leluasa. Biasanya setelah pukul 02.00, ibu selalu datang ke kamarku dan kami tidur berpelukan berdua atau aku yang medatangi kamarnya. Biasanya lonceng ronda malam mengingatkan kami kalau hari sudah pukul 02.00.

Kami tetap menjaga rahasia kami dan selalu melakukan persetubuhan dengan hati-hati dan tetap menhjaga dua kali dalam seminggu. Kami tidak lagi melakukannya di dangau, tapi di rumah. Hanya sesekali saja kami melakukannya di dangau, jika anak kami tidak ikut ke ladang atau ke sawah.

Hari naas itu pun terjadi. Orang ramai mendatangi rumah kami. Ibu dioseret ke rumah kepala desa dengan bentakan dan hinaan yang keji. Aku tidak taumengapa karena aku tidak memperhatikan ibu. Ternyata ibu hamil lagi. Aku pun ditangkap setelah pengakuan ibu yang tak tahan dipukuli di rumah kepala desa. Aku dibawa ke kantor polisi. Beritaku pun menghiasi halaman surat kabar di seluruh negeri. Aku dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, karena melanggar hukum negara dan hukum agama. Setelah dijatuhi hukuman, aku dipindahkan ke penjara kota besar yang sangat ramai. Aku rajin shalat. Aku rajin bekerja dalam penjara. Aku menjadi tukang sapu di kantor kepala penjara, Mengepel, menyiap teh dan banyak pekerjaannya. Aku juga jarang tidur di sel, tapi di ruangan dapur adfar pagi-pagi sekali aku bisa membantu tukang masak menyiapkan segala sesuatunya.

Akju semakin pinat memijat. Aku diajari olehPak sukron, sebelum dia lepas dari penjara. Ada empat bulan aku belajar darinya. Tiap hari aku memijat tioga sampai empat orang pegawai penjara dan bos-bos penjahat dalam penjara itu. Tentu saja gratis. Paling hanya diberikan sebungkus rokok dan minuman. Kecuali kalau aku memijat seorang maha kaya di dalam penjara itu yang kamarnya sangat mewah pula dibandingkan dengan penghuni lainnya.

Tiba saatnya aku keluar dari hukuman. Aku tahu,m aku bisa keluar dan dalam potongan hukuman setiap tahunnya, karea orang maha kaya itu ikut mengurusnya. Aku diberikan secari kertas dan diminta mendatangi sebuah alamat dan menyerahkan kertas itu. Kemudian orang kaya itu mengatakan, jika dia sudah lepas, aku harus datang menemuinya. Dia menyerahkan uang lima juta untukku. Di pintu, akhirnya aku harus menyerahkan uang itu sebagian.

Supir taksi mengantarku ke alamat itu. Aku menyerahkan secarik kertas itu kepada penjaga rumah yang sangat besar dan mewah itu. Akhirnya aku dibelikan pakaian dan diantar sampai ke kota besar ke tiga dinegeri ininaik pesawat. Aku dikontrakkan sebuah rumah. Mulailah aku luntang lantung tak menentu arah. Setelah lima bulan menganggur, tanpa sengaja aku bertemu dengan ibu tiriku. Kami bertangis-tangisan dan berpelukan. Seorang bayi perempuan dalam gendongannya. Dia anak keduaku. Kami berusaha membuka warung kopi. Hampir setahun lamanya. Aku baca koran bapak maha kaya itu lepas dari penjara. Aku katakan kepada ibu, aku harus menemuinya. AKu naik pesawat terbang menuju kota maha besar di negeri ini. Saat aku turun dari taksi, bapak maha kaya itu langsung berteriak memanggil namaku. Kami bersalaman dan seharian kami bercerita. Au bercerita tentang pertemuanku dengan ibu tiriku.
"Ya... aku mencintainya dan aku harus menikahinya demi anakku," kataku. Mulanya dia keberatan, tapi akhirnya mengalah dan isterinya pun ikut mendukungku. Dengan ditemani seseorang aku kembali terbang ke tempat ibuku. Semuabarang-barang kami tinggalkan. Kami hariitu juga terbang ke yang aku tak tahu di mana, tapi di sebuah perkebunan sawit yang maha luas. Sesampainya di sana tengah malam, kami memasuki sebuah rumah. Aku dipercayakan mengawasi pekerjaan para buruh yang mengambil sawit, pemupukan dan sebagainya.

Dua minggu kemudian, surat nikah kami keluar setelah kami dinikahkan di tempat itu.
Setelah aku memilikui anak ketiga, kami ikut keluarga berencana. Walau aku hanya tamat SMP, tapi memegang posisi mandor dengan gaji yang cukup. Aku harus menyekolahkan anak kami kelak dengan baik.
Orang kaya itu, menjadi ayah angkatku. Dia sangat menyayangiku. Aku tidak tidak [pernah menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikannya kepadaku. Setiap kali dia daang, mungkin hanya dua kali dalam setahun, pasti aku akan memijatnya. Bukan dia saja, juga isterinya dan anak-anaknya juga bila datang ke perkebunan itu.

Kini anakku yang tertua sudah kelas 3 SMP. Kedua kelas enam SD dan tetiga sudah kelas 4 SD. Mereka semua sehat-sehat. Hanya saja, aku dan isterimku, kehilangan keluarga kami di kampung. Biarlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar